Senin, 15 Juli 2013

SAKSI BISU PENGORBANAN GURU Oleh: Evangelina Tessia Pricilla

Sebuah rumah reyot berdiri di pinggir desa kecil ibu kota. Tak banyak kendaraan yang lewat. Paling-paling yang ada hanya becak dan angkutan umum kecil. Satu jam, satu angkot. Rumah reyot itu keadaannya sudah lama tak terurus. Penghuninya sudah meninggalkan dia menuju ke Ibu kota. Yang menjadi temannya adalah angin, burung-burung kecil yang berkicau juga suara deru mesin kendaraan bermotor ketika ada yang melintasi jalanan penuh batu. Dia merasa kesepian. Tulisan ‘RUMAH DIJUAL’
yang tulisannya sudah hampir tak terbaca lagi itu tetap berdiri mendampinginya
di bagian depan meski agak rapuh jua.
Dia menanti tuannya yang baru. Dia terus menanti.. menanti.. sampai akhirnya penantian panjang itu membuahkan hasil. Sebuah kendaraan bermotor terparkir di depan rumah. Awalnya, rumah pikir bahwa kendaraan bermotor itu adalah kendaraan yang hanya sekedar markir karena mogok di jalanan. Tapi, nyata tidak. Ia berusaha menilik kembali dari celah-celah rimbunnya dahan pepohonan tua yang menghalangi pemandangannya. Nampak seorang wanita muda turun dari motor. Ia datang seorang diri dan perlahan-lahan mulai masuk ke dalam rumah. Ia juga membawa beberapa barang bawaannya masuk. Wanita itu sempat melihat-lihat pemandangan sekitar rumahnya. Beberapa saat kemudian, dia tersenyum. Lalu mencabut palang “Rumah Dijual”. Rumah tampak senang. Ia tersenyum Akhirnya, ia tidak lagi menjadi rumah tanpa penghuni. Pohon tua yang sudah lama menjadi temannya pun juga ikut senang. Terbukti dengan caranya yang menggoyang-goyangkan dahan.
             Wanita itu mulai masuk ke dalam rumah dan menata semuanya dengan telaten. Hari itu juga, wanita muda yang belakangan ini diketahui oleh si rumah bernama, “Marina” Di dalam kamar tidur, Marina dengan bangga mengeluarkan seragam-seragam di depan almari. Rumah tahu, bahwa itu adalah seragam guru.
            Ternyata, penghuni baruku berprofesi sebagai guru… batin Rumah.
Seringkali, Rumah merasa geli ketika dinding rumahnya di sapu oleh Marina. Apalagi ketika dinding rumahnya tersentuh oleh kuas cat. Hampir saja ia tertawa. Tapi, berusaha ia tahan. Takutnya nanti, Marina malah mengira kalau suara tertawaan itu adalah suara tertawaan dari hantu. Selama seminggu, Marina menghabiskan waktunya bersama Rumah. Karena memang Marina harus membenahi beberapa bagian Rumah yang rusak dan kotor. Marina merupakan orang yang tlaten.
           Beberapa foto keluarga mulai Marina pajang di dinding rumah. Entah kenapa, Marina nampak sedih ketika melihat semuanya. Ya.. semuanya. Rumah melihat Marina meneteskan air mata perlahan-lahan. Siapa sebenarnya mereka yang ada di foto itu?
Rumah menjadi penasaran. Diam-diam, dia mengintip ketika Marina sedang menulis kisah hidupnya di buku diary. Rupanya, orang yang ada di foto Marina adalah keluarga Marina sendiri yang sudah meninggal. Mereka meninggal karena kecelakaan pesawat ketika ingin menyusul Marina yang secara sukarelawan sedang mengajar sekolah-sekolah terpencil di daerah Kalimantan. Rumah menjadi sedih. Ia tak sadar bahwa dinding rumah bagian dalamnya mulai basah. Ia menangis!
TES!!….
           Beberapa tetes air mata Rumah terjatuh ke buku diary Marina. Marina baru sadar bahwa dinding rumahnya basah. Ia pikir saat itu rumahnya sedang bocor. Tapi, ketika ia melongok keluar jendela. Cuaca sedang sangat cerah. Marina menjadi bingung. Ia menjadi resah.
“Ini bocor karena apa ya?” gumam Marina, sembari berlalu ke luar ramah untuk mencari beberapa ember atau tempat yang bisa digunakan untuk menampung air. Rumah baru sadar kalau ia menangis. Cepat-cepat, ia menghentikan tangisannya agar tidak merepotkan Marina. Bertambah lagi keheranan Marina. “Kok tiba-tiba berhenti sih?” Marina menatap dinding rumah juga atap rumahnya dengan seksama. Ia tidak jadi mengambil wadah. Karena itulah dia kembali ke kamarnya dan memutuskan untuk tidur.
           Keesokan harinya, Marina terbangun lebih pagi dari yang biasanya. Ia bersiap dan mulai mengenakan seragam guru kebanggaanya. Rumah terlihat kaget ketika Marina sudah siap dengan pakaian rapi sepagi itu. Cepat-cepat, Marina keluar dari Rumah dan memakai sepeda motornya lalu pergi entah kemana. Rumah menjadi bingung dan itu terus berlanjut sampai seterusnya. Berangkat pagi, pulang sore. Tanda tanya memenuhi benak rumah. Setiap hari, Marina sibuk membaca buku pelajaran anak-anak SD. Dan, itu terus belanjut sampai 6 tahun. Marina mulai sering jatuh sakit sehingga memaksanya untuk tetap beristirahat di rumah. 
       Ketika pada suatu hari, banyak sekali anak berpakaian SD pula yang berbondong-bondong datang ke rumah Marina. Mereka meminta supaya Marina mengajar mereka sebagai persiapan untuk Ujian Nasional. Tentu saja Marina setuju. Marina menyambutnya dengan tangan terbuka dan senyuman yang lebar. Untung, di rumahnya, ia menyediakan papan tulis hitam besar untuk mengajar murid-muridnya yang sebentar lagi akan menghadapi Ujian Nasional. Ujian yang harus dihadapi oleh seluruh siswa yang berada pada tingkatan kelas terakhir suatu jenjang pendidikan tertentu untuk melanjutkan ke jenjang pendidikannya yang berikutnya. Sesekali, Marina membuat lelucon agar suasana pengajarannya tidak terlalu tegang sehingga terdengar suara tertawaan riang dari Marina dan juga anak-anak SD.
           Dengan sabar, Marina mengajar mereka. Walaupun sekarang keadaannya sedang tidak sehat. Ia berusaha ceria dan sabar menanggapi murid-muridnya yang sering bertanya. Kegiatan rutin itu terus Marina lakukan sampai akhirnya murid didikannya menjalani Ujian. Di rumah, Marina tidak hanya berdiam diri. Ia terus memanjatkan doa kepada Tuhan supaya murid-murid didikannya dapat berhasil. Sampai pada suatu saat, hasil kelulusan pun tiba. Marina di beritahu bahwa semua murid didikannya berhasil lulus 100% dengan nilai yang memuaskan dan mendapat beasiswa untuk sekolah di kota. Di saat itulah, Rumah pertama kalinya melihat Marina tersenyum lepas tak seperti biasanya. Ia sangat bahagiaaaaa… sekali. Akhirnya, anak SD didikannya yang sudah 6 tahun ia ajar dapat berhasil.
          2 hari berikutnya, ketika pelepasan murid akan dilaksanakan. Marina ingin sekali datang. Namun, sayang… Keadaannya yang masih lemah memaksanya untuk tetap di rumah. Untunglah, ada salah seorang guru yang berbaik hati memberikan kaset rekaman video ketika acara pelepasan siswa SD itu dilaksanakan. Sekali lagi, Marina tersenyum bahagia ketika melihat wajah-wajah murid didikannya yang berseri ketika sedang menerima ijazah. Dan, video itu sempat Marina putar sampai berulang-ulang kali. “Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang guru kecuali ketika melihat murid didiknya sukses dan berprestasi.” Katanya, masih tetap menyunggingkan senyum.
            Berpuluh-puluh tahun kemudian…
Marina menginjak usianya yang ke-60 tahun. Tubuhnya semakin renta. Apalagi setelah ia divonis mengidap stroke dan harus segera di bawa ke rumah sakit kota. Ia sekarang hidup sendiri setelah pensiunannya dari guru. Ketika pada suatu hari, Marina menyalakan televisi, ia melihat berita mengenai salah seorang murid yang pernah ia ajar dulu.. Bernama, “Kharina Septiani” yang sekarang telah menjadi salah satu pengusaha terkenal di Indonesia. Dan, untuk yang ketiga kalinya, Rumah melihat Marina tersenyum bahagia. Lebih bahagia dari yang sebelum-sebelumnya. “Akhirnya, murid didikku menjadi orang sukses” gumamnya.
         Semakin lama, tubuh Marina semakin lemah. Sementara ia harus mengurus hidupnya sendirian. Ia hanya mengharapkan bantuan dari tetangga yang menghasihaninya dan mau berjalan jauh untuk pergi mengurus Marina. Rumah menjadi geram ketika melihat bahwa tidak ada murid-muridnya satu pun yang sekarang telah menjadi orang sukses datang menjenguk guru yang telah ikhlas mengajarnya. Kalau ia adalah manusia, ia pasti akan sangat bersyukur kalau ia mendapatkan guru seperti Marina. Hingga pada akhirnya, Marina meninggal…  
           Muridnya tetap tidak ada yang menjenguknya. Rumah sedih… Ia ingat akan kata terakhir yang Marina ucapkan sebelum meninggal, “Jiwaku boleh mati. Tapi, jasaku akan abadi”

0 komentar:

Posting Komentar