Sebuah rumah reyot berdiri di pinggir desa kecil ibu kota.
Tak banyak kendaraan yang lewat. Paling-paling yang ada hanya becak dan
angkutan umum kecil. Satu jam, satu angkot. Rumah reyot itu keadaannya
sudah lama tak terurus. Penghuninya sudah meninggalkan dia menuju ke Ibu
kota. Yang menjadi temannya adalah angin, burung-burung kecil yang
berkicau juga suara deru mesin kendaraan bermotor ketika ada yang
melintasi jalanan penuh batu. Dia merasa kesepian. Tulisan ‘RUMAH
DIJUAL’
Dia menanti tuannya yang baru. Dia terus menanti.. menanti.. sampai akhirnya penantian panjang itu membuahkan hasil. Sebuah kendaraan bermotor terparkir di depan rumah. Awalnya, rumah pikir bahwa kendaraan bermotor itu adalah kendaraan yang hanya sekedar markir karena mogok di jalanan. Tapi, nyata tidak. Ia berusaha menilik kembali dari celah-celah rimbunnya dahan pepohonan tua yang menghalangi pemandangannya. Nampak seorang wanita muda turun dari motor. Ia datang seorang diri dan perlahan-lahan mulai masuk ke dalam rumah. Ia juga membawa beberapa barang bawaannya masuk. Wanita itu sempat melihat-lihat pemandangan sekitar rumahnya. Beberapa saat kemudian, dia tersenyum. Lalu mencabut palang “Rumah Dijual”. Rumah tampak senang. Ia tersenyum Akhirnya, ia tidak lagi menjadi rumah tanpa penghuni. Pohon tua yang sudah lama menjadi temannya pun juga ikut senang. Terbukti dengan caranya yang menggoyang-goyangkan dahan.
yang tulisannya sudah hampir tak terbaca lagi itu tetap berdiri
mendampinginya
di bagian depan meski agak rapuh jua.Dia menanti tuannya yang baru. Dia terus menanti.. menanti.. sampai akhirnya penantian panjang itu membuahkan hasil. Sebuah kendaraan bermotor terparkir di depan rumah. Awalnya, rumah pikir bahwa kendaraan bermotor itu adalah kendaraan yang hanya sekedar markir karena mogok di jalanan. Tapi, nyata tidak. Ia berusaha menilik kembali dari celah-celah rimbunnya dahan pepohonan tua yang menghalangi pemandangannya. Nampak seorang wanita muda turun dari motor. Ia datang seorang diri dan perlahan-lahan mulai masuk ke dalam rumah. Ia juga membawa beberapa barang bawaannya masuk. Wanita itu sempat melihat-lihat pemandangan sekitar rumahnya. Beberapa saat kemudian, dia tersenyum. Lalu mencabut palang “Rumah Dijual”. Rumah tampak senang. Ia tersenyum Akhirnya, ia tidak lagi menjadi rumah tanpa penghuni. Pohon tua yang sudah lama menjadi temannya pun juga ikut senang. Terbukti dengan caranya yang menggoyang-goyangkan dahan.
Wanita itu mulai masuk ke dalam rumah dan menata semuanya dengan
telaten. Hari itu juga, wanita muda yang belakangan ini diketahui oleh
si rumah bernama, “Marina” Di dalam kamar tidur, Marina dengan bangga
mengeluarkan seragam-seragam di depan almari. Rumah tahu, bahwa itu
adalah seragam guru.
Ternyata, penghuni baruku berprofesi sebagai guru… batin Rumah.
Seringkali, Rumah merasa geli ketika dinding rumahnya di sapu oleh
Marina. Apalagi ketika dinding rumahnya tersentuh oleh kuas cat. Hampir
saja ia tertawa. Tapi, berusaha ia tahan. Takutnya nanti, Marina malah
mengira kalau suara tertawaan itu adalah suara tertawaan dari hantu.
Selama seminggu, Marina menghabiskan waktunya bersama Rumah. Karena
memang Marina harus membenahi beberapa bagian Rumah yang rusak dan
kotor. Marina merupakan orang yang tlaten.
Beberapa foto keluarga mulai Marina pajang di dinding rumah. Entah
kenapa, Marina nampak sedih ketika melihat semuanya. Ya.. semuanya.
Rumah melihat Marina meneteskan air mata perlahan-lahan. Siapa
sebenarnya mereka yang ada di foto itu?
Rumah menjadi penasaran. Diam-diam, dia mengintip ketika Marina sedang
menulis kisah hidupnya di buku diary. Rupanya, orang yang ada di foto
Marina adalah keluarga Marina sendiri yang sudah meninggal. Mereka
meninggal karena kecelakaan pesawat ketika ingin menyusul Marina yang
secara sukarelawan sedang mengajar sekolah-sekolah terpencil di daerah
Kalimantan. Rumah menjadi sedih. Ia tak sadar bahwa dinding rumah bagian
dalamnya mulai basah. Ia menangis!
TES!!….
Beberapa tetes air mata Rumah terjatuh ke buku diary Marina. Marina baru
sadar bahwa dinding rumahnya basah. Ia pikir saat itu rumahnya sedang
bocor. Tapi, ketika ia melongok keluar jendela. Cuaca sedang sangat
cerah. Marina menjadi bingung. Ia menjadi resah.
“Ini bocor karena apa ya?” gumam Marina, sembari berlalu ke luar
ramah untuk mencari beberapa ember atau tempat yang bisa digunakan untuk
menampung air. Rumah baru sadar kalau ia menangis. Cepat-cepat, ia
menghentikan tangisannya agar tidak merepotkan Marina. Bertambah lagi
keheranan Marina. “Kok tiba-tiba berhenti sih?” Marina menatap dinding
rumah juga atap rumahnya dengan seksama. Ia tidak jadi mengambil wadah.
Karena itulah dia kembali ke kamarnya dan memutuskan untuk tidur.
Keesokan harinya, Marina terbangun lebih pagi dari yang biasanya. Ia
bersiap dan mulai mengenakan seragam guru kebanggaanya. Rumah terlihat
kaget ketika Marina sudah siap dengan pakaian rapi sepagi itu.
Cepat-cepat, Marina keluar dari Rumah dan memakai sepeda motornya lalu
pergi entah kemana. Rumah menjadi bingung dan itu terus berlanjut sampai
seterusnya. Berangkat pagi, pulang sore. Tanda tanya memenuhi benak
rumah. Setiap hari, Marina sibuk membaca buku pelajaran anak-anak SD.
Dan, itu terus belanjut sampai 6 tahun. Marina mulai sering jatuh sakit
sehingga memaksanya untuk tetap beristirahat di rumah.
Ketika pada suatu hari, banyak sekali anak berpakaian SD pula yang
berbondong-bondong datang ke rumah Marina. Mereka meminta supaya Marina
mengajar mereka sebagai persiapan untuk Ujian Nasional. Tentu saja
Marina setuju. Marina menyambutnya dengan tangan terbuka dan senyuman
yang lebar. Untung, di rumahnya, ia menyediakan papan tulis hitam besar
untuk mengajar murid-muridnya yang sebentar lagi akan menghadapi Ujian
Nasional. Ujian yang harus dihadapi oleh seluruh siswa yang berada pada
tingkatan kelas terakhir suatu jenjang pendidikan tertentu untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikannya yang berikutnya. Sesekali, Marina
membuat lelucon agar suasana pengajarannya tidak terlalu tegang sehingga
terdengar suara tertawaan riang dari Marina dan juga anak-anak SD.
Dengan sabar, Marina mengajar mereka. Walaupun sekarang keadaannya
sedang tidak sehat. Ia berusaha ceria dan sabar menanggapi
murid-muridnya yang sering bertanya. Kegiatan rutin itu terus Marina
lakukan sampai akhirnya murid didikannya menjalani Ujian. Di rumah,
Marina tidak hanya berdiam diri. Ia terus memanjatkan doa kepada Tuhan
supaya murid-murid didikannya dapat berhasil. Sampai pada suatu saat,
hasil kelulusan pun tiba. Marina di beritahu bahwa semua murid
didikannya berhasil lulus 100% dengan nilai yang memuaskan dan mendapat
beasiswa untuk sekolah di kota. Di saat itulah, Rumah pertama kalinya
melihat Marina tersenyum lepas tak seperti biasanya. Ia sangat
bahagiaaaaa… sekali. Akhirnya, anak SD didikannya yang sudah 6 tahun ia
ajar dapat berhasil.
2 hari berikutnya, ketika pelepasan murid akan dilaksanakan. Marina
ingin sekali datang. Namun, sayang… Keadaannya yang masih lemah
memaksanya untuk tetap di rumah. Untunglah, ada salah seorang guru yang
berbaik hati memberikan kaset rekaman video ketika acara pelepasan siswa
SD itu dilaksanakan. Sekali lagi, Marina tersenyum bahagia ketika
melihat wajah-wajah murid didikannya yang berseri ketika sedang menerima
ijazah. Dan, video itu sempat Marina putar sampai berulang-ulang kali.
“Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang guru kecuali ketika
melihat murid didiknya sukses dan berprestasi.” Katanya, masih tetap
menyunggingkan senyum.
Berpuluh-puluh tahun kemudian…
Marina menginjak usianya yang ke-60 tahun. Tubuhnya semakin renta.
Apalagi setelah ia divonis mengidap stroke dan harus segera di bawa ke
rumah sakit kota. Ia sekarang hidup sendiri setelah pensiunannya dari
guru. Ketika pada suatu hari, Marina menyalakan televisi, ia melihat
berita mengenai salah seorang murid yang pernah ia ajar dulu.. Bernama,
“Kharina Septiani” yang sekarang telah menjadi salah satu pengusaha
terkenal di Indonesia. Dan, untuk yang ketiga kalinya, Rumah melihat
Marina tersenyum bahagia. Lebih bahagia dari yang sebelum-sebelumnya. “Akhirnya, murid didikku menjadi orang sukses” gumamnya.
Semakin lama, tubuh Marina semakin lemah. Sementara ia harus mengurus
hidupnya sendirian. Ia hanya mengharapkan bantuan dari tetangga yang
menghasihaninya dan mau berjalan jauh untuk pergi mengurus Marina. Rumah
menjadi geram ketika melihat bahwa tidak ada murid-muridnya satu pun
yang sekarang telah menjadi orang sukses datang menjenguk guru yang
telah ikhlas mengajarnya. Kalau ia adalah manusia, ia pasti akan sangat
bersyukur kalau ia mendapatkan guru seperti Marina. Hingga pada
akhirnya, Marina meninggal…
Muridnya tetap tidak ada yang menjenguknya.
Rumah sedih… Ia ingat akan kata terakhir yang Marina ucapkan sebelum
meninggal, “Jiwaku boleh mati. Tapi, jasaku akan abadi”
0 komentar:
Posting Komentar